Kerinci, Main Lumpur dan Hampir Mati

IMG_4960Sebenarnya karena sebuah aktivitas baru, akhirnya membuat saya sedikit malas untuk meng-update blog ini. Tapi sepertinya sayang jika cerita di Kerinci hanya disimpan untuk diri sendiri 😉

Pendakian ke Kerinci menjadi sebuah pendakian penuh ambisi, yaitu ambisi untuk mencapai puncak tertinggi kedua di Indonesia (yang pertama adalah Carstenz di Papua), sekaligus menjadi puncak berapi tertinggi pertama di Indonesia.

Seperti yang pernah saya ceritakan di tulisan saya yang lain, pendakian menuju ke gunung-gunung tinggi selalu saya lakukan saat libur lebaran, dan libur lebaran 2019 menjadi waktu yang saya nanti-nantikan untuk mendaki Kerinci 🙂

Setelah berburu tiket selama berhari-hari, akhirnya saya dan team memutuskan menggunakan penerbangan AirAsia ke Padang transit melalui Kuala Lumpur (KL). Mengapa memilih penerbangan transit? Karena tiket direct ke Padang lebih mahal beberapa ratus ribu rupiah daripada transit terlebih dahulu di KL. Yang menakjubkan adalah harga tiket domestik ke Padang setara dengan harga tiket ke Jepang. Astaga, semua ini demi Kerinci!


SURABAYA – KUALA LUMPUR, 1 JUNI 2019

Pesawat kami terbang pukul 5 pagi, sampai di KL sekitar pukul 9 waktu Malaysia, dan penerbangan menuju Padang baru akan berangkat pukul 4 sore waktu Malaysia. Akibat waktu transit yang cukup lama, kami memutuskan untuk melipir sedikit ke jantung kota Kuala Lumpur, yaitu di KLCC Twin Towers.

20190601_114851
Ke KLCC nyari makan

BANDARA MINANGKABAU, 1 JUNI 2019

Pukul setengah 5 sore, pesawat kami mendarat dengan sempurna. Dan apa yang menjadi ketakutan saya benar-benar terjadi yaitu, Bandara Minangkabau diguyur hujan sangat deras. Sejak dari Surabaya saya selalu memantau ramalan cuaca untuk Kerinci melalui website freemeteo.co.id. Ramalan cuaca memang menunjukkan bahwa curah hujan di Padang sedang sangat tinggi. Ya sudahlah, pendakian harus tetap dilaksanakan.

Seusai mendapatkan bagasi kami masing-masing, pihak open trip yang kami sewa sudah menunggu untuk mengantar kami menuju basecamp Kerinci di desa Kersik Tuo. Ber-6, saya, Amel, Jacob, Nico, Erwin, dan Adrian, kami membulatkan tekad harus sampai di puncak Kerinci!


MAKAN NASI PADANG DI KOTA PADANG

Salah satu bucket list kami adalah: makan nasi padang di kota Padang. Dan hal ini kesampaian ketika kami keluar dari bandara. Di dekat bandara ada sebuah rumah makan padang yang rasa masakannya menurut saya mantap!

Nasi putih hangat, daging rendang, daging ayam, telur, sayur, dan segelas teh manis hangat rupanya ampuh untuk membuat sore kami menjadi lebih bersemangat. Hmmm… Ayo makan! Eits, kami harus menunggu hingga pukul setengah 7 malam demi menghormati pengunjung yang masih berpuasa (saat itu masih bulan puasa).

3
Ini nama rumah makannya: Lintas Raya
2
Dipilih.. dipilih…
4
Rendang ❤

Selamat makan! 🙂


KERSIK TUO, 2 JUNI 2019

Penyakit lama team saya lagi-lagi kami selalu sampai di basecamp saat hari sudah larut malam. Nggak main-main, pukul 4 subuh kami baru sampai di penginapan! Perjalanan dari bandara hingga sampai di desa normalnya memakan waktu sekitar 7 jam, tapi mungkin karena kami sering berhenti untuk beli ini itu, jadinya molor hingga hampir 9 jam. Sekalipun kami tidur terus sepanjang perjalanan, tapi rasa capek dan kantuk tetap saja menyerang. Besok pagi kami harus bangun pukul 7 pagi untuk bersiap-siap memulai pendakian.

5
Penginapan kami
IMG_5354
Kamar cewek

PAGI HARI DI KERSIK TUO

Bangun pagi lalu menatap ke arah luar jendela, siapa sangka bahwa penginapan tempat kami menginap berseberangan langsung dengan pemandangan menawan dari Gunung Kerinci. Hamparan luas kebun teh Kayu Aro yang merupakan kebun teh terluas di Asia Tenggara menambah kesempurnaan keindahan Desa Kersik Tuo kala itu.

IMG_5398
View dari jendela kamar kami

Sebelum berangkat, ibu pemilik rumah membuatkan kami sarapan mi instan goreng dengan nasi serta telor dadar. Jika tidak ada rencana mendaki, haram bagi saya makan mi instan dengan nasi, tapi demi menambah tenaga, saya lalap hingga habis sepiring menu sarapan pagi itu! 😀

IMG_4965

Pukul setengah 9 pagi kami berangkat menuju pos perizinan Gunung Kerinci. Kami menggunakan mobil colt dengan bak terbuka untuk menuju ke sana. Mobil colt yang kami gunakan merupakan fasilitas dari paket pendakian yang diberikan oleh pihak open trip.

Pukul 9 pagi akhirnya kami memulai langkah pendakian kami! 🙂

IMG_4983


PINTU RIMBA – POS 1 (BANGKU PANJANG)

IMG_5004
Pintu Rimba

Elevasi dari pintu rimba menuju pos 1 hanya naik 130 mdpl. Itulah mengapa track-nya sangatlah mudah. Landai, sejuk, aman lah pokoknya, paling ada pohon tumbang dan tanahnya sedang becek karena bekas hujan semalam. Estimasi waktunya sekitar 45 menit.

IMG_5009

IMG_5016

IMG_3164
Level kesulitannya hanya sebatas pohon tumbang
20190602_091814.jpg
Pos 1 Bangku Panjang. Mohon maaf, wajah teman saya memang jutek begitu, tapi anaknya baik kok 🙂

20190602_091824.jpgTidak berlama-lama di pos 1, kami bersegera melanjutkan ke pos 2 yaitu Pos Batu Lumut.


POS 2 (BATU LUMUT)

Menuju pos 2 tidaklah sulit, hanya butuh waktu 30 menit, dan waktu masih menunjukkan pukul 9.45.

Salah satu hal yang membuat saya jatuh cinta pada hutan Kerinci adalah karena habitatnya termasuk masih liar. Beberapa kali kami mendengar suara hewan mungkin keluarga monyet saling bersahutan. Suara serangga juga tidak kalah nyaring mengiringi langkah kami.

DSC02850


POS 3 (PONDOK PANORAMA)

Sekitar pukul 11 siang, kami sampai di pos 3. Pos ini dinamakan Pondok Panorama. Entah mengapa diberi nama seperti itu, kemungkinan dari tempat ini kita dapat melihat view yang indah, sayang hari itu langit perlahan mendung, dan hujan pun turun.

20190602_110418.jpg

Btw, berdasar informasi yang pernah saya baca, pendaki tidak disarankan untuk membangun tenda di pos 1 hingga pos 3. Seperti yang sudah seharusnya kita ketahui bahwa Sumatera adalah habitat alami dari harimau sumatera. Pos 1 hingga pos 3 adalah tempat yang sering dilewati makhluk buas ini.

Saat turun, saya mencium bau kotoran hewan yang masih segar saat melewati ke-3 pos ini. Dan ternyata di salah satu sisinya terdapat aliran sungai. Tidak heran jika si raja rimba kerap melewati pos 1-3 untuk minum.

Lalu, di mana tempat yang tepat untuk mendirikan tenda? Saya rasa jika masih kuat, dirikanlah tenda di shelter 3, tetapi jika kondisi tidak memungkinkan, mungkin sebaiknya di shelter 1 saja.


SHELTER 1

Jalur pendakian dari pos 3 menuju shelter 1 perlahan tapi pasti mulai menanjak. Hampir tidak kami temui jalanan yang landai, dan hujan masih saja terus mengguyur kami.

Pukul 1 siang kami sampai di shelter 1. Sambil berharap hujan mereda, kami berhenti untuk makan siang. Makan siang saat itu ala kadarnya, yaitu nasi putih dan ayam goreng bumbu lengkuas lalu kami tambah kacang sebagai topping. Yah lumayan, daripada tidak makan sama sekali 🙂

Shelter 1 sangat luas, cukup untuk menampung banyak tenda. Hari itu hanya sedikit pendaki yang naik, mungkin karena masih bulan puasa.

IMG_5098.jpg
Shelter 1 dan hujan

Selesai makan kami bergegas melanjutkan pendakian tanpa tahu bahwa jalur penyiksaan hanya berjarak tidak lebih dari 1 meter dari kaki kami, yang artinya sudah di depan mata!


JALUR LICIN DAN MIRING

Track dari shelter 1 hingga shelter 2 tidak kalah panjang dengan jarak pos 3 ke shelter 1, hanya saja track dari shelter 1 ke 2 benar-benar melelahkan. Miring, akar, tanah, ditambah hujan semakin deras dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Perlahan team saya mulai terpisah. Satu orang di depan bersama porter, satu orang sendirian di tengah (kasihan), saya dan seorang teman saya, dan dua orang lagi di belakang ditemani 2 orang porter.

Dahulu saya adalah pendaki yang jarang menggunakan jasa porter, tapi belakangan saya memilih membayar lebih untuk jasa porter. Biar bagaimanapun gunung adalah alam liar, tidak seperti di kota. Di gunung tidak ada petunjuk jalan, tidak ada mini market. Siapa yang tahu jika sampai terjadi apa-apa, atau mungkin tersesat dan sakit. Dengan adanya porter, mereka lebih paham dengan medan gunung yang kita daki, dan tidak ada salahnya membagi berkat kepada mereka 🙂 Di cerita Kerinci, saya bersyukur dengan keberadaan 3 orang porter kami. Tanpa mereka, mungkin kami bakal kelaparan dan sakit.

IMG_5127.jpg
Jalur seperti ini seolah tidak ada akhirnya
IMG_5123
Lama-lama tambah nggak jelas
IMG_5121
Masuk-masuk akar

Pukul setengah 5 sore saya sampai di shelter 2. Ketakutan mulai menghampiri saya, bagaimana tidak, selain hujan tidak berhenti sama sekali, di shelter 2 tidak ada Jacob dan Erwin yang sudah mendahului di depan. Saya khawatir mereka salah ambil jalan, saya juga teringat Amel dan Adrian yang ada di belakang saya. Saya memutuskan menunggu, mencoba memanggil nama mereka, tapi tidak ada jawaban. Kondisi shelter 2 kala itu juga tidak memadai digunakan sebagai tempat berlindung. Luasnya sangat kecil, hanya muat untuk 2-3 tenda. Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan pendakian karena tubuh mulai menggigil jika tidak digunakan untuk bergerak.


MENUJU SHELTER 3

IMG_5135 (4).jpg
Foto ini diambil di shelter 2, pendaki berjas hujan biru itu adalah saya. Dapat dilihat bahwa kondisi kemiringan jalurnya langsung naik drastis.

Alamak! Saya hampir menangis saat melewati jalur menuju shelter 3. Cahaya perlahan mulai meredup bersamaan dengan datangnya gelap malam. Angin semakin kencang, hujan lagi-lagi menjadi alasan terkuat untuk mengeluh. Badan saya semakin dingin, berulang kali saya memaksa diri untuk makan cemilan yang saya bawa demi menambah energi dan membawa panas tubuh. Itu pun hanya berhasil sebentar saja.

Saya menoleh ke atas. “Oh Tuhaaaaaannnn… Kok tidak selesai-selesai jalurnya. Kok masih ada lagi???” Mungkin teman yang bersama saya sudah lelah mendengar keluhan-keluhan saya. Sepanjang jalan saya mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Sekalipun saya tahu dalam pendakian usahakan jangan mengeluh, tapi malam itu mental saya drop.

Lagi-lagi saya teringat pada teman-teman. Bagaimana nasib mereka, apakah mereka baik-baik saja, apakah mereka kedinginan, bagaimana jika mereka terserang hipotermia dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan saya berdoa memohon Tuhan memberi keselamatan dan kekuatan pada kami.

Sempat di satu titik, saya benar-benar merasa putus asa. Jalur pendakian saya buntu! Saat melewati jalur shelter 3 kita akan seolah berada di sebuah gang sempit yang hanya muat untuk satu orang, dengan tembok tinggi di kanan kirinya. Dan menyedihkan, saat itu saya berada di gang sempit itu. Tampak di depan saya sebuah tembok dari tanah, begitu pula di kanan kiri saya. Saya tidak punya tenaga untuk melewatinya. Saya berpikir, “Sudahlah saya di sini saja menunggu Adrian beserta porter yang ada di belakang (beruntung saya tidak melakukannya!)”. Saya mencoba mengangkat badan tetapi tidak berhasil. Jadi begini rasanya putus asa, harus cepat mengambil keputusan, atau kamu sekarat. Tiba-tiba sebuah suara di dalam hati memberi perintah, “Naikkan tas carrier-mu dulu.” Saya segera berdiri tegak dan berteriak, “Ko, carrier-ku aja dulu. Terimoen (terimalah)!” Saya melepas tas carrier dan sekuat tenaga mencoba mengangkatnya supaya lebih tinggi dari kepala saya. Berhasil!!! Ini berhasil!!! Saya kembali mencari pijakan, dan akhirnya saya berhasil melewati rintangan tersebut! Saya tersadar, dalam panik, Tuhan tetap ada dalam hidup kita memberi petunjuk-Nya.


SHELTER 3!!!

Pukul setengah 8 malam saya berhasil sampai di shelter 3. Tenda sudah didirikan, saya segera masuk. Terlihat Jacob sudah membungkus dirinya dengan sleeping bag. Dia menyambut dengan teriakan, “Ce! Gunung iki gila! Lapo aku nde kene Ce (Ngapain saya di sini)??!!!” Saya tahu sama seperti saya, terjadi pergolakan emosi di dalam dirinya, dan tentu saja dalam diri kami masing-masing. Kami semua stress, ini adalah pendakian terberat yang pernah saya alami. Nico bergegas keluar dan meminta tolong kepada porter supaya membuatkan minuman hangat untuk kami, sayang sekali jawaban dari porter terdengar bagaikan lelucon.

“Logistiknya di bawah, Mas. Dibawa teman yang nemani temannya Mas yang satunya.”

Saya terdiam, ya sudah kami tidak bisa apa-apa.

Tiba-tiba dalam beberapa menit, seorang porter dari rombongan yang di belakang datang, dia membawa logistik! Ah, ini dia teh hangat ternikmat yang pernah ada ❤


AKHIR DARI HARI YANG PENUH PERJUANGAN (DAN MUNGKIN PENYESALAN?)

Pukul setengah 10 malam, hujan masih belum puas menghajar kami, tiba-tiba terdengar teriakan memanggil nama kami.

“Ceeee… Ce Paaammm…”
“Ko Niiiicccc…”
“Wiiinnnn…”
“Cooobbbb….”

Saya sontak berteriak, “Guys, itu arek-arek datang!”

Saya segera menyiapkan tempat untuk mereka yang baru pulang dari medan perang.

Setelah makan malam, kami segera tidur berharap besok matahari bersinar cerah.


SHELTER 3, 3 JUNI 2019

Subuh pukul 4. Saya terbangun dan langsung tersadar. “Guys, summit nggak?”

Terdengar erangan yang artinya mengusir saya untuk kembali tidur.

“Woyyy.. Ayo summit!” Saya membalas erangan tersebut.

Dan pembicaraan ini dilanjutkan dengan keraguan kami, enaknya summit atau tidak. Jarak ke puncak tinggal sebentar. Tapi badan kami terasa lelah sekali.

Dalam keraguan kami, seorang bapak porter berseru dari dalam tendanya sambil tertawa mengejek. “Jauh-jauh dari Jawa kok nggak summit.”

Aduh, menohok sekali, dan Jacob langsung merespon, “Ya wes Ce, aku summit!”


SUMMIT ATTACK

Saya, Nico, Jacob, dan Erwin bersiap untuk summit. Amel dan Adrian memutuskan tidak. Adrian sakit, sedangkan Amel takut tidak kuat melanjutkan turun ke basecamp jika melanjutkan summit. Keputusan yang sangat berat, tapi kami masing-masing harus tahu batas kekuatan tubuh kami, karena yang terpenting sesungguhnya adalah pulang kembali ke rumah dengan selamat.

Pukul 5 dini hari kami berjalan perlahan menjemput impian.

IMG_5126.jpg

IMG_5163
Ini adalah foto terbaik saya di pendakian Kerinci kemarin

Jalur menuju puncak Kerinci tidak sesulit menuju puncak Semeru atau Rinjani. Jalurnya relatif mudah dan tidak terlalu miring. Menurut saya, jalur puncak yang lumayan menguras tenaga adalah jalur terakhir setelah Tugu Yudha.


TUGU YUDHA

Tugu Yudha adalah sebuah plakat nisan untuk mengenang seorang pendaki yang hilang saat mendaki Gunung Kerinci pada tahun 1990. Pendaki tersebut bernama Yudha Sentika.

Dari Tugu Yudha jalur menuju puncak mulai miring dan terasa lumayan menguras tenaga. Udara mulai terasa tipis, sehingga nafas semakin berat.

IMG_5155 (4)
Tugu Yudha. Tulisannya sudah semakin tipis, dikikis waktu dan cuaca Kerinci

Dari Tugu Yudha kami kembali melangkahkan kaki, jam menunjukkan pukul setengah 8 pagi. Saya berpikir, lama juga kami berjalan, tetapi kabut tak kunjung pergi. Perlahan saya merelakan impian bisa berfoto di puncak Kerinci dengan kondisi cuaca cerah.

IMG_5158.jpg


ATAP SUMATERA, 3.805 MDPL

Pukul 8 pagi, kami berhasil menginjakkan kaki di atap Sumatera, puncak Gunung Kerinci yang tersohor itu! Seketika wajah kami sumringah, betapa bahagianya ketika harga tiket setara dengan tiket ke Jepang tidak terbuang sia-sia 😆

Sekalipun kabut yang sangat tebal terus menerus menghampiri kami, kami tidak kecewa jika tidak dapat berfoto dengan langit biru dan matahari yang bersinar terik. Kami puas! Apalagi mengingat perjuangan kami semalam 🙂

IMG_5174
Sempat terlihat sedikit langit biru, sayang sinar matahari tak cukup kuat untuk menerobos pekatnya kabut
IMG_E5169
Bebatuan 11-12 dengan Semeru. Tapi yang di Kerinci jauh lebih jinak 😉
IMG_E5225.jpg
SAMPAI!
IMG_5244.jpg
Jacob awalnya tidak mau ikut summit, sampai di atas dia bisa tersenyum, tapi turun ke bawah dia cemberut lagi 😆
IMG_E5240.jpg
Wajah pucat kurang asupan gizi

TURUN

Perjalanan turun tidak semudah yang dikira. Kami turun dengan bayang-bayang harus bertemu kembali dengan jalur-jalur mematikan semalam.

IMG_5290
Tenda kami di shelter 3

Hujan kembali menghampiri kami. Melewati jalur shelter 3 di saat mendung, barulah kami semakin yakin bahwa sesungguhnya memang jalur ini adalah salah satu jalur tergila yang pernah ada.

IMG_5293.jpg
View berkabut di shelter 3
IMG_5298.jpg
Jalur shelter 3
IMG_5299.jpg
Turun teruuuussss

Salah satu yang terberat di pendakian Kerinci bukan hanya tentang naiknya, tapi juga turunnya. Saya cukup meremehkan, karena selama ini saya suka sekali dengan turunan, saya merasa kaki pasti kuat. Nyatanya, sampai di pos 3 kaki saya lelah. Lutut terasa lemas, beberapa kali saya salah berpijak dan mengakibatkan saya terjatuh.

Semakin ke bawah, mental saya semakin hancur. Saya sempat salah injak dan entah bagaimana lutut saya yang harusnya ditekuk ke depan malah mengarah ke belakang. Saya mengerang kesakitan. “Arrrrgggghhh!!!” Hari sudah semakin gelap, teman-teman bertanya apakah saya baik-baik saja. Gara-gara kecelakaan kecil ini, saya mengalami cedera lutut dan saat di kota saya harus menggunakan decker/pelindung lutut selama 6 bulan!

Ada satu lagi hal yang mengenaskan. Saat melewati pos 1, sekalipun landai, tapi kondisi tanahnya sangat basah, becek, dan beberapa bagian dalam kondisi penuh dengan genangan air. Dasarnya saya sudah malas jalan, kaki lemas, dan punggung capek, saya asal-asalan saja memilih jalur, dan saya terpeleset!!! Gedubrak!!! Saya tersadar, jaket Uniqlo yang baru saya beli sebelum pendakian Kerinci terendam lumpur! Warnanya pink ngejreng, dan seketika bagian belakangnya berwarna coklat :’)

Saya bangkit berdiri, tertawa menertawakan diri sendiri. Sesungguhnya dalam hati menangis :’)


AKHIRNYA SELESAI

Melihat pintu rimba rasanya menyenangkan sekali. Kami bergegas. Saya ingin mandi dan tidur! Kami dijemput mobil colt, kabut turun, dan di atas mobil kami terdiam semua karena suhu udara malam itu dingin sekali. Baju kami basah sehingga kami menggigil 😆

Pukul 8 malam kami sampai di basecamp. Sekalipun tidak semua dari kami sampai di puncak, tetapi kami bersyukur all crew pulang dengan selamat! Terimakasih Tuhan Yesus, terimakasih orangtua kami, terimakasih team porter, terimakasih team zombie Kerinci! Kerinci kamu layak menjadi gunung berapi tertinggi di Indonesia!

IMG_5339.jpg
Tas, sepatu, baju, jaket berlumuran lumpur, bukti kejamnya Kerinci
IMG_5352.jpg
Teler!

 

Leave a comment